ɢᴏᴡᴀ | ᴘᴏʀᴏsʀᴀᴋʏᴀᴛɴᴇᴡs.ɪᴅ – Koalisi besar lembaga Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB) melalui siaran persnya mengungkap berbagai permasalahan tanah yang terjadi di Desa Sokkolia, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Permasalahan yang diungkap mencakup sengketa tanah, penyerobotan tanah, penempatan lahan tanpa izin, penjualan tanah bodong, penggunaan tanah di atas milik orang lain tanpa izin, perusakan tanaman, transaksi Akta Jual Beli (AJB) bodong, serta pembuatan girik palsu. Jumat, (14/4/2025).
Tanah bodong merupakan istilah yang merujuk pada bidang tanah dengan surat kepemilikan yang tidak tercatat dalam data administrasi kantor pertanahan, kecamatan, maupun buku tanah desa setempat. Hal ini menyebabkan riwayat kepemilikan tanah tersebut tidak memiliki legalitas yang jelas.
Presiden TIB, Syafriadi Djaenaf Daeng Mangka, menjelaskan bahwa transaksi jual beli tanah bodong dilakukan oleh jaringan mafia tanah yang melibatkan oknum pegawai pemerintah, sipil, bahkan aparat penegak hukum, terutama dari Unit Tanah dan Bangunan di tingkat Polres.
“Adapun modus yang mereka gunakan adalah dengan menargetkan tanah yang belum dikonversi, tanah kosong, dan tanah sengketa. Dalam kasus tanah yang belum dikonversi ke Undang-Undang Pokok Hukum Agraria (UUPA), mereka menggunakan surat girik palsu,” ungkap Daeng Mangka.
Ia mencontohkan salah satu kasus besar, yakni penjualan 56 kavling tanah bodong oleh mafia tanah di Desa Sokkolia. Modusnya adalah memindahkan dan menggeser batas desa.
“Awalnya, lokasi tersebut berada di wilayah administrasi Desa Sokkolia. Namun, untuk mentransaksikan tanah kavling tersebut di wilayah administrasi Desa Romangloe, kelompok mafia tanah ini menggeser batas desa sehingga luas wilayah administrasi Desa Romangloe bertambah, sedangkan Desa Sokkolia berkurang,” tambah Daeng Mangka.
“Jadi, saat ini lokasi tanah kavling tersebut berada di Desa Sokkolia, namun Akta Jual Belinya ditandatangani oleh Kepala Desa Romangloe,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Daeng Mangka mengungkap bahwa tanah kavling bodong ini dibuatkan girik yang diduga palsu, meskipun tanah tersebut sebenarnya merupakan P2 tanah negara yang telah digarap selama puluhan tahun oleh masyarakat. Girik tersebut diduga palsu karena memiliki kesamaan nomor persil (53 DII) dan nomor kohir (1076 CI) dengan girik lainnya, namun tetap didudukkan pada lokasi berbeda dengan nama pemilik dan luas tanah yang sama.
“Lebih fatal lagi, ada girik lain di dekat lokasi tersebut yang juga memiliki nomor persil 53 DII dan nomor kohir 1076 CI, tetapi berbeda nama pemilik, luas, dan letak lokasinya,” pungkasnya.